Photo: Bocah Udik Sebagai Ilustrasi |
Di ruangan itu, seorang anak laki-laki menonton video dokumentasi pesta khitanan abangnya. Dia menonton sambil berbaring. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Terlihat seperti trauma. Karena tergambar jelas kesan itu didalam wajah sedihannya.
Sesekali air mata membasahi pipinya yang berwarna kuning langsat itu. Tak ingin terlihat sedih, buru-buru ia lepas tangannya yang semula menyanggah kepala dan menghapus air mata kesedihan yang menimpa keluarganya. Air mata yang membasahi pipi mungil itu pun kering.
Tak jauh dari ia berbaring, abang dan kakaknya memperhatikan gerak-gerik dia. Ia tak ingin kesedihannya diketahui oleh siapapun. Bahkan dia mau terlihat tegar meski trauma seperti menghantui.
Anak laki-laki itu sudah putus sekolah. Dia tidak melanjutkan ke bangku pendidikan akibat permasalahan keluarga. Padahal dia masih mau menuntut ilmu untuk nutrisi otaknya. Tapi takdir berkata lain, dia menjadi korban keluarga yang berantakan.
Namun anak itu masih beruntung. Meski tidak lanjut ke bangku sekolah, dia tidak terjerat dalam obat-obatan terlarang atau narkoba. Tapi rasa trauma itu masih ada hingga dirinya tumbuh dewasa. Buktinya, dia masih saja menangis jika melihat keadaan keluarganya.
Pada tahun 2012, keluarganya menjadi berantakan. Ayah dan ibunya berpisah akibat kesalahan yang fatal. Seorang wanita berhasil membuat ayahnya lupa akan keluarga. Ya, Ayahnya mengkhianati perjanjian pernikahan saat bersama ibunya sewaktu dulu.
Suatu ketika, ayahnya ketahuan berselingkuh. Anak ini pernah bicara dengan sang ayah, perihal tersebut. Namun sang ayah berbohong dan menampik dan tidak memiliki hubungan dengan wanita lain. Kebohongan pun terbongkar dengan sendirinya. Wanita yang pernah menjanda dua kali itu, terlalu berani menelepon ke rumahnya.
"Ayah tak ada selingkuh. Dia teman ayah." kilahnya.
"Ayah tak ada selingkuh. Dia teman ayah." kilahnya.
Yang lebih parah lagi, sang ayah justru memukul ibunya saat ditanya tentang hubungan dengan wanita itu. Lingkaran mata pun berubah menjadi warna biru akibat tonjokan dari ayah. Bekasnya pun bertahan menghiasi wajah sang ibu hingga sebulan lamanya.
Kejadian itu tidak berhenti sampai disitu saja. Sang ayah tega tidak memberi makan keluarganya. Bahkan saat lebaran, di saat semua orang memakan daging, keluarganya hanya memakan kangkung rebus karena sang ayah tidak memberi uang. Ironisnya, si Ayah justru memberi uang kepada tetangganya untuk membeli daging hari lebaran.
"Uang Rp 300 ribu ini titip buat om Ben." kata ayahnya.
"Uang Rp 300 ribu ini titip buat om Ben." kata ayahnya.
Anak laki-laki itu putus sekolah bukan tidak beralasan. Setiap kali meminta uang untuk ongkos atau untuk bayar bulanan, si ayah selalu memakinya. Pernah anak itu dimaki di depan umum. Tindakan verbal yang dilontarkan ayahnya, membuat trauma semakin parah.
Kini ayahnya sudah menikah dengan wanita lain. Hal itu membuat niat anak laki-laki yang awalnya mau menyatukan ayah dan ibunya untuk kembali, jauh dari harapan. Setiap hari, anak itu pun selalu menangis meratapi nasib keluarganya. Itu lah sebabnya dia selalu melihat video hasil dokumentasi pesta khitanan abangnya.
Si Ayah juga pernah sombong untuk tidak mengharapkan semua anaknya datang mengunjungi. Kalau si ayah meninggal, mayatnya jangan dijadikan rebutan. Ayahnya berpesan agar istri keduanya yang mengurusi. Karena menurut si ayah, istri keduanya sangat sayang kepadanya.
"Nanti kalau ayah meninggal, biarlah istri kedua ayah yang mengurusnya. Mayat ayah jangan dijadikan rebutan." pinta sang ayah.
"Nanti kalau ayah meninggal, biarlah istri kedua ayah yang mengurusnya. Mayat ayah jangan dijadikan rebutan." pinta sang ayah.
Sekarang, si ayah jatuh sakit. Lumpuh, buta, dan pasti tidak berdaya. Seluruh harta habis. Istri keduanya juga seolah-olah enggan untuk mengurusnya.
Cobaan itu masih saja membuat si ayah tidak sadar. Malahan menyalahi keluarga dan anak-anaknya. Si ayah menilai kalau semua anaknya lupa akan jasanya. Padahal keberhasilan sebagian anaknya, itu karena istri pertamanya.
"Kalian ga ada satu pun yang berbalas budi. Kalian itu tak tahu diri." kata si ayah.
"Kalian ga ada satu pun yang berbalas budi. Kalian itu tak tahu diri." kata si ayah.
Abang pertama anak laki-laki itu juga pernah tidak dianggap anak oleh ayahnya. Pernah dicaci-maki tapi tidak menyurutkan semangat abangnya. Justru omongan buruk dari ayahnya, dijadikan obat semangat untuk kehidupannya. Apalagi melihat kondisi ibu mereka, abangnya semakin semangat mencari rezeki.
Melihat abangnya sudah mapan, si ayah meminta bantuan. Tapi terkadang abangnya tidak mau membantu karena masalah tersebut. Akhirnya si ayah mengancam kalau saat meninggal, jasadnya jangan direbut dan itu semakin dilawan oleh abangnya.
Kondisi buruk keluarga anak laki-laki itu kini sudah berangsur pulih. Mereka sangat peduli dengan ibunya. Rasa trauma yang dialami oleh anak itu, sudah membaik. Kini anak laki-laki itu juga sudah menikah dan memiliki keturunan yang cantik.
No comments