Saya merasa bodoh jika sedang jatuh cinta. Begitu juga dengan kalian, para pembaca. Pasti merasakan hal yang sama dengan saya. Laiknya perumpaan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, begitulah kita kalau sedang jatuh cinta. Menuruti kemauan orang lain (pasangan), tanpa mau membantah dan melawan karena mungkin sedang buta akibat cinta.
Saya diminta oleh teman untuk mengajak kenalan seorang gadis.
Padahal gadis tersebut adalah cewek yang dia suka. Tujuan awal menjadikan saya sebagai Mak Comblang. Seperti lagu Melly Goeslaw gitu. Nah, dia memberikan nomor kontak dan
media sosial cewek tersebut. Saya pun menuruti permintaannya dan mengajak kenalan
si cewek melalui media sosial terlebih dahulu. Kemudian berlanjut dengan
tukaran nomor whatsapp.
“P,” isi pesan cewek tersebut.
“Z,” balasku agar tak ada lagi alphabet setelahnya.
Kami pun berlanjut untuk ketemuan. Saya masih ingat kalau
saat itu kami bertemu di Cemara Asri Medan untuk pertama kalinya. Dia bekerja di daerah sekitar sana. Cewek
berambut panjang dan berkulit putih (mungkin kalian pikir adalah kuntilanak)
sedang menunggu di bundaran perumahan Cemara Asri. Setelah berbincang sejenak,
kami lanjut jalan mencari tempat nongkrong agar bisa cerita dengan nyaman.
Tami (sebut saja namanya) merupakan gadis yang baik. Kami
ngobrol dengan santai dan asik. Obrolannya nyambung meski topik pembicaraan
kami tinggi untuk gadis seusianya. Dia terlihat cerdas, setidaknya menurut saya
yang masih buta akan rasa di hati ini.
“Pulang yuk,” kata Tami.
Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Dia
mengingatkan saya untuk balik ke rumah dan mengakhiri pembicaraan kami malam
itu. Saya pun memutuskan untuk pulang dan mengantarkannya ke rumah.
Di atas sepeda motor, kami lanjut berbincang. Dia banyak
cerita tentang kehidupannya. Termasuk membicarakan teman saya. Tapi saya
pura-pura tak tahu meski yang diceritakan itu sudah saya ketahui.
“Keep contact ya,” ucap Tami malam itu.
Beberapa hari kemudian, Samuel yang merupakan teman saya itu
menanyakan perkembangan antara saya dengan Tami. Namun saya berbohong dan
mengatakan kalau Tami itu tidak baik, sombong, dan sepertinya matre.
“Udah aku block juga,” kata Samuel.
Samuel mengatakan tidak akan menghubungi Tami karena akan fokus
dengan masalah pribadinya. Dia pernah bercerita tentang masalahnya kepada saya.
Dan saya berdoa agar dia akan block Tami selamanya. Saya pun bisa lebih dekat
dengan Tami.
Malam harinya, Saya jalan lagi dengan Tami. Kami makan malam
di sekitar Marelan. Rumah kami memang tak terlalu jauh dari tempat makan malam
kami. Tami bercerita tentang impiannya yang juga sama dengan saya.
Saya mengajak Tami jalan-jalan di akhir pekan. Beberapa tempat
wisata di Sumatera, pernah kami kunjungi. Sebenarnya ada niatan jahat dalam
pikiran saat kami jalan. Tapi Tuhan selalu tahu dan hal itu tak diijinkan.
Terbukti dari beberapa penginapan yang kami booking. Kami selalu mendapatkan twin
bed. Selain itu malaikat dalam pikiran pun selalu melarang. “Jangan. Itu dosa,”
katanya.
Saya pernah mengungkapkan perasaan saya ke Tami. Dan dia
tahu itu sejak awal. Dan kami berkomitmen membangun mimpi bersama. Kalau saja
hubungan kami mulus, dua bulan kedepan akan terwujud mimpi kami itu. Tapi rasa
ini tak mengubah niat saya untuk tak menikah.
“Ada 250 ribu? Aku mau bayar kekurangan uang sama kakak
sepupu,” ucap Tami melalui whatsapp.
Tami bercerita kalau ada hutang dengan kakak sepupu akibat
membantu orangtua untuk renovasi rumah, termasuk kamarnya. Rumahnya dinilai tak
laik karena sering bocor dan hanya rumah papan yang butuh direnovasi.
“Ada,” kataku.
Saat makan malam, saya pun memberikan uang tersebut. Namun
dia meminta saya untuk mengantarkannya ke rumah kakak sepupunya. Lokasinya di daerah
Pringgan Marelan. Saya melihat secara langsung saat dia memberikan uang
tersebut ke kakak sepupunya.
Setelah malam itu, kami intens komunikasi melalui whatsapp. Dia
akan mengajak keluar kalau paket internet habis, beli obat, atau pun makan. Cepat
balas pesan whatsapp kalau ada permintaan tersebut. Lucu, memang. Dan saya tak
permasalahkan hal itu.
Tami memiliki sakit di lambungnya. Itu sebabnya dia juga
meminta untuk beli obat lambung kalau ketemu dan sakit lambungnya kambuh.
Terkadang saya khawatir kalau lambungnya sakit. Dia tak bisa
sembarang atau pun telat makan. Ketika kami makan di Marelan, contohnya. Lambungnya
kumat dan kami mencari apotik terdekat untuk membeli obat.
“Kenapa kamu sering online di Facebook atau Whatsapp larut
malam?” tanyaku saat dia mengajakku keluar makan malam.
Dia beralasan itu terjadi kalau perutnya sakit dan
terbangun. Saat terbangun, dia melihat pesan masuk di media sosialnya atau
whatsapp. “Mana tau urgent,” katanya.
Saya yang tak mau ribet dan ribut, yakin aja dengan
jawabannya. Percaya gitu. Saat makan, dia sering senyum sendiri membalas pesan
di media sosial dan whatsapp. Sering tak fokus kalau diajak bicara. Saya tak
suka hal seperti ini, kalau makan sambal main handphone.
Saya sudah mulai risih. Namun tak mau kehilangan dirinya
karena sudah terlalu sayang. Jadi tak mau membahas permasalahan ini. Diam saja.
“Aku lembur. Tak bisa keluar malam ini,” kataku melalui
whatsapp.
Saya bertanya tentang dirinya. Tak ada jawaban dari whatsapp.
Namun dia online, begitu juga dengan facebooknya. Kemudian hanya centang biru
yang artinya dibaca. Tapi dia tak membalasnya. Saya mencoba menghubunginya, tapi
tak dijawab.
Balik dari kantor, saya melewati rumahnya. Berhenti sejenak dan
mengirimkan pesan kalau saya ada di depan jalan rumahnya. Tenyata dia ada di
seberang jalan dan naik motor bersama pria lain. Mesra banget. Saya pun memutuskan
untuk mengikuti mereka dan dia melihat saya.
“Sial,” batinku.
Kemudian saya balik ke rumah. Saya hubungi Tami sekali lagi,
namun tak ada jawaban. Saya mengatakan akan tetap bersamanya meski dia telah berbuat jahat. Bersama pria lain, padahal kita sudah komitmen.
Eh Tami block semua kontak saya. Bodoh dan sial banget guek. Itulah bodohnya guek, saat jatuh cinta.
Eh Tami block semua kontak saya. Bodoh dan sial banget guek. Itulah bodohnya guek, saat jatuh cinta.
No comments