Tisu yang Tipis Berpengaruh Besar Terhadap Perubahan Iklim

Tisu yang Tipis Berpengaruh Besar Terhadap Perubahan Iklim
www.bocahudik.com

Banyak orang berlalu-lalang di simpang tiga Bandarsyah, Natuna pagi itu. Ada yang berangkat ke sekolah, kantor, atau yang hendak ke pasar.

Selain itu, para pedagang juga tampak menjajakan barangnya di sana. Salah satunya ada nenek Susi, penjual tisu.

Saya sangat tertarik untuk menghampiri dan ngobrol dengannya. Setelah menyebrangi jalan, saya mengenalkan diri pada wanita tua itu.

Wanita lansia itu berasal dari Jawa. Ia bersama suaminya pindah dan menetap di Natuna sejak 30 tahun lalu.

Di Natuna, nenek Susi memiliki 4 orang anak. Mereka kini bekerja di luar kota dan jarang kembali ke Natuna.

Untuk menyambung hidupnya, nenek Susi mengais rezeki lewat lembaran tisu. Wanita yang berusia 66 tahun itu tidak mau merepotkan anak-anaknya.

"Mana enak saya minta uang ke anak. Saya masih bisa cari uang sendiri dan tak mau repotin anak," kata nenek Susi.

Sebelum berjualan tisu, nenek Susi bekerja sebagai asisten rumah tangga dan mencari barang rongsokan. Namun ia memutuskan beralih ke penjual tisu lantaran sudah tak punya banyak tenaga.

"Dulu saya masih kuat dan apa aja dikerjakan. Tapi sekarang hanya bisa jualan tisu untuk makan," kenang nenek Susi.

Nenek Susi mengalami suka dan duka dalam menjual tisu. Salah satunya saat dikejar oleh petugas keamanan.

"Kalau dikejar-kejar petugas keamanan, saya mah sering. Paling saya pindah agak jauhan. Kalau petugasnya udah ndak ada, saya balik lagi,” ungkap nenek Susi.

Terkadang, nenek Susi juga sering mendapat rezeki lebih ketika berjualan tisu. Ia mengaku sering dikasih uang lebih oleh pembeli.

Wanita tua itu tidak merasa takut ketika petugas keamanan menertibkan para pedagang yang berjualan di sana. Ia berdalih jika tidak menggangu jalan dan hanya mencari rezeki untuk sesuap nasi.

"Masa iya petugas seenaknya aja ngusir. Saya kan jualan dan tidak mengganggu jalan," ujarnya.

Awalnya, Nenek Susi mulai berjualan tisu dengan modal Rp60 Ribu. Selain itu, wanita yang penuh dengan garis kerutan di wajah tersebut selalu tawakal agar mendapat kemudahan dalam mencari rezeki.

Dia juga tidak takut rugi meski banyak pedagang tisu di sekitar simpang tiga itu. Baginya, persaingan merupakan hal yang wajar.

Nenek Susi dikenal sebagai orang yang penuh semangat oleh pedagang sekitar. Bagaimana tidak, di usianya yang sudah uzur dan seharusnya menikmati masa tua, nenek Susi tetap berjualan tisu.

“Daripada bengong di rumah, saya lebih suka berjualan. Kalau saya hanya tiduran di rumah, badan saya sakit karena kurang gerak,” ujarnya penuh semangat.

Nenek Susi memang masih terlihat sehat meski keriput di wajahnya terlihat jelas. Dengan mengenakan baju kotak-kotak warna merah dan topi, nenek Susi menjajakan dagangannya di bawah terik matahari.

"Umur bukan batasan buat mencari rezeki. Yang penting selama ada niat dan usaha, InsyaAllah semuanya akan dipermudahkan," tutupnya.

Kisah nenek Susi dalam menyambung hidup sama seperti kita yang harus menyelamatkan bumi. Kita harus #BersamaBergerakBerdaya demi mencegah dampak perubahan iklim menjadi semakin buruk.

Saya tidak memutuskan rezeki orang. Namun sebenarnya, tisu berdampak negatif terhadap bumi kita.

Tisu memiliki bahan dasar dari kayu. Nah, Kayu tersebut diproses terlebih dahulu menjadi paper pulp atau bubur kertas yang didaur ulang atau bubur kertas murni (virgin pulp).

Satu pohon bisa menghasilkan 1.500 gulung tisu toilet. Meskipun rasio terlihat tinggi, namun penggunaan tisu sudah sangat banyak. Tentunya untuk mencukupi kebutuhan konsumen, produksi tisu akan membutuhkan beribu-ribu pohon yang ditebang dalam satu hari.

World Wildlife Fund (WWF) memperkirakan dalam sehari, sekitar 270 ribu pohon ditebang untuk memproduksi tisu yang pada akhirnya berujung di tempat sampah. Efek tisu ini sudah pasti akan merembet ke isu lingkungan.

Pohon yang ditebang untuk membuat tisu akan menyebabkan erosi atau hutan gundul yang mengakibatkan kebakaran hingga kualitas oksigen yang menurun. Selain itu, proses produksi tisu juga akan menghasilkan emisi gas.

Sementara menurut Environment Canada, sebanyak 0,0024 hektar hutan dikorbankan dan 324 ribu liter air secara sadar digunakan dalam produksi satu ton tisu. Belum lagi akibat yang dihasilkan dari sampah tisu.

Tisu merupakan salah satu barang sekali pakai. Sudah pasti banyak sampah yang menumpuk akibat tisu yang digunakan oleh manusia setiap hari.

Tisu juga salah satu sampah anorganik yang sulit terurai. Total jumlah sampah tisu di Indonesia mencapai 25 ribu ton.

Tisu memang sangat tipis. Namun benda itu bisa membawa dampak buruk bagi perubahan iklim di bumi.


Jika kita tidak bisa mengontrol dalam penggunaan tisu, maka kita mempunyai andil yang besar terhadap permasalahan lingkungan yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Kita hendaknya sadar jika penggunaan tisu harus diminimalisir. Berdasarkan sebuah penelitian, masyarakat kota besar di Indonesia memiliki kebiasaan menggunakan tiga lembar tisu, hanya untuk mengeringkan tangan.

Tisu yang Tipis Berpengaruh Besar Terhadap Perubahan Iklim
www.bocahudik.com

Berikut cara mengurangi penggunaan tisu:

1. Tepuk tangan

Tepuk tangan sebanyak 30 kali setelah mencuci tangan, maka air yang menempel akan berjatuhan. Membantu mengurangi jumlah air di tangan sebanyak 80 persen.

2. Hand dryer

Alat ini menggunakan udara panas untuk mengeringkan air yang menempel pada tangan.

3. Sapu tangan

Sapu tangan bisa digunakan untuk mengusap keringat atau mengeringkan tangan.

Ayo lakukan perubahan kecil seperti mengganti tisu dengan sapu tangan atau kain lap kecil yang bisa digunakan berkali-kali. Kita harus #BersamaBergerakBerdaya untuk menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang semakin buruk.

Kalian bisa ikutan video challenge tentang aksi kecil menyelamatkan bumi. Caranya klik teamupforimpact.org.

Di sana ada banyak challenge dan kalian bisa pilih salah satunya. Lalu buat video dan share ke Instagram.

Jangan lupa follow dan tambahkan @TeamUpforImpact sebagai collab feature. Pakai hashtag #TantanganEBS ya!

Ada hadiah menarik lho.

No comments