![]() |
Akar Wangi dari Gunung Cikuray www.bocahudik.com |
Udara malam di kaki Gunung Cikuray terasa menusuk kulit. Sebuah tenda besar berdiri di tengah lapangan, diterangi lampu-lampu gantung sederhana.
Puluhan orang duduk melingkar sambil berbagi cerita. Dingin malam seolah luluh oleh hangatnya kebersamaan.
Suara jangkrik berpadu dengan aroma kopi panas yang mengepul dari gelas enamel. Malam itu para petani dari Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut bertemu dengan Eco Blogger Squad.
Mereka tak hanya berbicara tentang panen. Percakapan malam itu juga menyentuh tanah, air, dan masa depan yang ingin mereka wariskan.
Hasanudin, seorang petani berusia empat puluhan, menjadi pusat perhatian. Lelaki berjanggut dengan mata berbinar itu mulai membuka cerita.
Nada bicaranya mantap dan penuh keyakinan. Semua orang larut dalam setiap kata yang ia tuturkan.
"Dulu sebelum tahun 1999, kami hidup pas-pasan. Kebanyakan hanya menanam singkong atau jagung, hasilnya tidak cukup untuk makan," ucap Hasanudin di bawah cahaya lampu tenda.
Namun kehidupan berubah sejak hadirnya gerakan SPP. Para petani mulai mengenal tanaman akar wangi, tanaman atsiri yang tumbuh subur di ketinggian 1.200–1.700 meter di atas permukaan laut.
"Hidup kami berubah. Sekarang desa bisa mandiri, bahkan mampu membangun sekolah dari PAUD sampai SMA," lanjutnya sambil tersenyum.
Rumah ibadah dan pesantren pun berdiri tanpa bantuan pemerintah. Semua itu lahir dari hasil akar wangi yang ditanam dengan gotong royong.
![]() |
Petani Panen Akar Wangi di Gunung Cikuray www.bocahudik.com |
Akar wangi memang istimewa. Dari akarnya disuling minyak berharga yang diekspor ke Brasil, Haiti, hingga Swiss.
Bayangkan, satu-satunya pusat ekspor akar wangi di Indonesia ada di kaki Gunung Cikuray. Tepat di desa yang dipijak Hasanudin dan para petani lain.
Sebelum diekspor, tanaman akar wangi disuling menggunakan mesin penyulingan. Disini, ada 17 mesin penyulingan akar wangi.
Saat ini, akar wangi ditanam di lahan seluas 362 hektar di tiga desa. Ketiganya adalah Dangiang, Sukamukti, dan Mekarmukti di Kecamatan Cilawu, Garut.
Desa Dangiang memiliki lahan paling luas sekitar 235 hektar. Sementara Sukamukti 47 hektar dan Mekarmukti 80 hektar.
Dari tanah ini, harum akar wangi Indonesia menembus pasar dunia yang dijual dengan harga paling murah Rp2,6 juta per kilogram. Tapi yang jadi kelemahan para petani disini adalah tidak bisa menembus ekspor secara langsung karena masih melalui distributor.
Saat ini, akar wangi ditanam di lahan seluas 362 hektar di tiga desa. Ketiganya adalah Dangiang, Sukamukti, dan Mekarmukti di Kecamatan Cilawu, Garut.
Desa Dangiang memiliki lahan paling luas sekitar 235 hektar. Sementara Sukamukti 47 hektar dan Mekarmukti 80 hektar.
Dari tanah ini, harum akar wangi Indonesia menembus pasar dunia yang dijual dengan harga paling murah Rp2,6 juta per kilogram. Tapi yang jadi kelemahan para petani disini adalah tidak bisa menembus ekspor secara langsung karena masih melalui distributor.
"Kami harus menjual ke PT Givaudan Indonesia karena tidak bisa ekspor langsung ke berbagai negara. Padahal tanaman akar wangi di dunia cuma ada di Indonesia dan Haiti," katanya.
Menurutnya, jika dikelola dengan baik, maka penghasilan para petani disana melebihi gaji anggota DPR. Namun cerita malam itu bukan sekadar soal angka dan ekspor.
Lebih dari itu, ini adalah kisah kebersamaan, perjuangan, dan rasa syukur. Mereka percaya, menjaga tanah berarti menjaga kehidupan.
SPP bahkan mewajibkan setiap anggotanya menanam pohon keras di perbatasan lahan. Pohon-pohon itu berupa alpukat, durian, hingga kopi.
Tanaman tambahan itu menjadi sumber panen bulanan. Lebih penting lagi, mereka menjaga agar tanah tidak longsor.
"Kalau dihitung, perputaran uang dari hasil tani bisa sampai Rp25 miliar per tahun. Dari jumlah itu, sekitar Rp18 miliar mengalir langsung ke buruh tani sebagai upah," kata Hasanudin sambil menyeruput kopi hitam.
Dulu banyak warga yang merantau untuk mencari kerja. Kini justru mereka bisa mempekerjakan orang lain di kampung sendiri.
Namun perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Meski sudah dikenal dunia, petani akar wangi belum bisa menembus ekspor langsung.
Mereka masih bergantung pada distributor. Meski begitu, semangat swadaya dan kemandirian tetap terjaga.
Lebih dari itu, ini adalah kisah kebersamaan, perjuangan, dan rasa syukur. Mereka percaya, menjaga tanah berarti menjaga kehidupan.
SPP bahkan mewajibkan setiap anggotanya menanam pohon keras di perbatasan lahan. Pohon-pohon itu berupa alpukat, durian, hingga kopi.
Tanaman tambahan itu menjadi sumber panen bulanan. Lebih penting lagi, mereka menjaga agar tanah tidak longsor.
"Kalau dihitung, perputaran uang dari hasil tani bisa sampai Rp25 miliar per tahun. Dari jumlah itu, sekitar Rp18 miliar mengalir langsung ke buruh tani sebagai upah," kata Hasanudin sambil menyeruput kopi hitam.
Dulu banyak warga yang merantau untuk mencari kerja. Kini justru mereka bisa mempekerjakan orang lain di kampung sendiri.
Namun perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Meski sudah dikenal dunia, petani akar wangi belum bisa menembus ekspor langsung.
Mereka masih bergantung pada distributor. Meski begitu, semangat swadaya dan kemandirian tetap terjaga.
![]() |
Eco Blogger Squad di Desa Sukamukti Garut www.bocahudik.com |
Malam semakin larut dan bintang makin terang. Namun tawa dan cerita di bawah tenda tak kunjung reda.
Kopi kembali diseduh, kisah kembali dituturkan. Pertemuan sederhana itu menjadi jembatan antara dunia digital dan dunia tani.
Para blogger menulis, para petani bercerita. Dari percakapan sederhana itu, lahirlah harapan besar untuk desa.
Harapan itu adalah agar kisah akar wangi dari Garut bisa menginspirasi lebih banyak orang. Tentang kemandirian desa, gotong royong, dan betapa berharganya tanah yang kita pijak.
Di balik harum akar wangi yang menggetarkan dunia, tersimpan kisah petani sederhana. Mereka berjuang dengan hati, menjaga alam, dan menulis sejarah dengan tangan mereka sendiri.
![]() |
Pembuatan Kerajinan dari Akar Wangi www.bocahudik.com |
Di sisi lain, sisa tanaman akar wangi juga dimanfaatkan oleh petani di desa tersebut. Mereka membuat kerajinan dari akar wangi yang sudah diambil minyaknya.
Deni, pengrajin di Desa Sukamukti membuat berbagai hiasan dari tanaman akar wangi. Dia dapat membuat hiasan seperti gajah, domba Garut, hingga dinosaurus.
Biasanya dia dapat menyelesaikan aneka kerajinan tersebut selama dua jam untuk ukuran yang kecil. Sedangkan ukuran yang besar diselesaikan dalam waktu satu hari.
"Kerajinan ini dijual dengan harga Rp65 ribu sampai Rp250 ribu," ungkap Deni.
Sejarah Serikat Petani Pasundan dan Perjuangan Reforma Agraria di Indonesia
![]() |
Sejarah Serikat Petani Pasundan (SPP) di Kantor Sekretariat SPP www.bocahudik.com |
Agustiana, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan (SPP) menegaskan, lahirnya organisasi ini tidak lepas dari sejarah panjang ketidakadilan agraria di Indonesia. Sejak awal, SPP hadir sebagai jawaban atas keresahan petani yang kehilangan tanah garapan akibat penguasaan skala besar oleh perusahaan negara maupun swasta.
Ketika perusahaan-perusahaan meraup keuntungan dari hutan produksi dan perkebunan untuk kebutuhan ekspor, masyarakat di sekitar lahan justru hidup dalam kesulitan. Situasi inilah yang mendorong lahirnya gerakan rakyat untuk merebut kembali hak atas tanah setelah runtuhnya Orde Baru.
SPP berakar dari gerakan pemuda di Garut. Pada 1989, sejumlah aktivis membentuk Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG) yang aktif mengadvokasi isu lingkungan, buruh, agraria, dan masyarakat miskin kota.
Gerakan ini kemudian bertransformasi melalui berbagai aliansi. Mereka membangun jejaring bersama Komite Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (KPMURI) serta Serikat Petani Jawa Barat (SPJB).
"Sejak awal, ada keinginan membentuk serikat petani di selatan Jawa Barat. Namun kondisi politik penuh ancaman, sehingga kami bergabung dulu dengan organisasi yang lebih besar," ujar Agustiana.
Agustiana menjelaskan, SPP resmi dideklarasikan melalui dukungan organisasi mahasiswa dan aktivis muda di tahun 2000. Deklarasi tersebut dihadiri petani dari Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya yang kemudian membentuk Organisasi Tani Lokal (OTL) sebagai basis perjuangan di desa-desa.
Setiap desa memiliki kisahnya sendiri. Di Desa Sarimukti, SPP lahir dari perlawanan terhadap kasus korupsi raskin yang dilakukan oleh kepala desa.
![]() |
Petani Panen Tomat di Area Perkebunan Akar Sari Gunung Cikuray www.bocahudik.com |
Sementara ada petani yang kehilangan lahan karena dialihkan menjadi tambak udang di Ciamis. Masyarakat yang protes tidak didengar pemerintah sehingga mereka mendirikan OTL.
Ada juga masyarakat di Jangkurang yang harus melawan praktik penjualan tanah rakyat oleh aparat desa dan BPN. Yapemas bersama LBH Bandung mendampingi warga menggugat manipulasi penjualan tanah tersebut.
Sejak awal berdiri, SPP memposisikan diri sebagai pelopor reforma agraria. Mereka menekankan tiga agenda utama: redistribusi tanah untuk petani, perbaikan layanan alam, serta penataan produksi bersama.
Menariknya, SPP menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam setiap pengambilan keputusan. Perempuan didorong aktif menentukan pola tanam, mengelola lahan, hingga terlibat dalam penyelesaian konflik agraria.
Selain memperjuangkan tanah, SPP juga menyediakan layanan pendidikan bagi anggota. Ada pendampingan hukum, sekolah tani, hingga pendidikan organisasi di berbagai daerah basis.
Struktur organisasi SPP dibangun dari desa hingga pusat. Kongres OTL menjadi forum tertinggi, sementara kepemimpinan harian dijalankan Sekjen dibantu deputi.
Ancaman terhadap petani belum berakhir hingga kini. Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja memberi peluang besar bagi korporasi untuk kembali menguasai tanah.
"Desa-desa basis SPP harus menjaga tanah mereka agar tidak kembali dirampas," kata Agustiana.
Menurutnya, petani harus terus bersiaga menghadapi kebijakan yang mengancam ruang hidup mereka. SPP bukan hanya simbol perlawanan petani Jawa Barat, tetapi kini juga bagian dari gerakan global.
Reforma agraria menjadi jalan perjuangan banyak organisasi petani di Indonesia. Lebih dari dua dekade berdiri, SPP terus menjaga semangat awalnya.
"Mereka berjuang untuk mengembalikan tanah kepada petani demi kehidupan yang lebih adil dan berdaulat," pungkasnya.
No comments