Penjaga Terakhir Bumi: Suara Masyarakat Adat di Tengah Krisis Iklim


Di sebuah kampung yang dikelilingi hutan lebat, anak-anak pernah berlari bebas di bawah pohon yang menjulang. Kini, tempat bermain itu berubah menjadi lahan gundul, tanah retak, dan suara mesin berat yang tak pernah berhenti meraung.

Bagi masyarakat adat, kehilangan hutan sama saja dengan kehilangan jiwa. Pohon bukan sekadar kayu, melainkan sahabat yang memberi nafas, rumah bagi burung, obat bagi yang sakit, dan cerita bagi generasi mendatang.

Namun satu per satu, hutan yang mereka jaga dengan cinta telah dirampas. Gunung dibongkar, sungai dipenuhi lumpur, dan tanah yang mereka panggil "ibu" kini dipagari papan bertuliskan "Dilarang masuk."

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menuturkan dengan nada tegas tapi sarat kepedihan.

"Kami adalah korban pertama, bahkan sebelum dunia tahu apa itu krisis iklim," katanya, seakan mengingatkan bahwa penderitaan ini bukan cerita baru.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) www.bocahudik.com
Masyarakat adat telah lama menjaga bumi dengan pengetahuan leluhur yang diwariskan turun-temurun. Mereka tahu kapan hutan boleh dibuka, kapan sungai harus dibiarkan tenang, dan kapan tanah harus dibiarkan beristirahat.

Ironinya, dunia baru sadar bahwa masyarakat adat lah yang membuat bumi masih bertahan. Alam terbaik, ekosistem terkuat, dan biodiversitas terkaya tetap hidup karena ada orang-orang yang rela menjaga tanpa pamrih.

Tetapi penghargaan itu berhenti di atas kertas dan pidato megah. Di lapangan, masyarakat adat terusir dari tanahnya, seakan mereka hanya tamu di rumah sendiri.

Di ruang konferensi, negara-negara membicarakan mitigasi, adaptasi, dan pasar karbon. Tetapi istilah yang terdengar modern itu sejatinya berbicara tentang hutan-hutan adat yang telah dijaga dengan doa dan air mata.

Sayangnya, mekanisme global itu kerap berubah menjadi lahan baru bagi korporasi. Di Indonesia, hutan yang menyimpan karbon malah diserahkan lagi kepada perusahaan dalam bentuk izin konsesi.

"Hutan yang kami jaga sekarang bukan hanya diincar kayunya, tapi juga karbonnya," ujar Rukka. Suaranya bergetar, seakan menunjukkan luka yang tak pernah sembuh.

Mahkamah Konstitusi memang sudah mengakui hutan adat sebagai milik masyarakat adat. Tetapi pemerintah tetap menyatakan karbon yang tersimpan di sana adalah milik negara, sebuah logika yang menyakitkan.

Kenyataan ini membuat masyarakat adat kembali kehilangan haknya. Apa yang seharusnya menjadi pengakuan justru berubah menjadi cara baru untuk merampas.

Di tengah wacana transisi energi, penderitaan itu semakin dalam. Tambang nikel, biofuel, hydropower, hingga food estate menghancurkan tanah adat dengan dalih menyelamatkan bumi.

Di Papua, masyarakat baru tahu tanah leluhurnya hilang ketika papan larangan dipasang. Mereka tidak pernah diajak bicara, tidak pernah diberi tahu, tiba-tiba rumah mereka berubah menjadi energy estate.


Transisi energi yang katanya untuk kebaikan justru meninggalkan luka baru. Dunia ingin menyelamatkan bumi dengan cara menghancurkan rumah para penjaganya.

Bagi masyarakat adat, kehilangan tanah bukan sekadar kehilangan aset. Itu artinya kehilangan identitas, kehilangan doa, dan kehilangan hubungan suci dengan alam.

Rukka menilai pemerintah semakin tidak percaya diri menghadapi rakyatnya sendiri. Karena itu undang-undang demi undang-undang lahir untuk membungkam, bukan melindungi.

Undang-Undang Cipta Kerja, kebijakan nilai ekonomi karbon, hingga Undang-Undang TNI terbaru, semuanya semakin mempersempit ruang hidup masyarakat adat. Negara terlihat lebih setia kepada korporasi daripada kepada rakyat yang menjaga hutan.

"Masyarakat adat tidak tinggal diam, dan negara tahu itu. Karena itulah aturan dibuat, agar perlawanan kami bisa dibungkam," tutur Rukka.

Harapan kepada dunia luar pun sering kandas. Janji pendanaan dari lembaga filantropi hanya berhenti di brosur dan dokumen, tak pernah benar-benar sampai ke kampung.

Uang itu mengalir di gedung-gedung besar di kota. Sementara di pelosok, masyarakat adat terus menjaga hutan dengan tangan kosong, hanya berbekal tekad dan doa leluhur.

Karena itu AMAN bergabung dalam Global Alliance of Territorial Communities. Lewat aliansi ini, suara masyarakat adat disuarakan di panggung internasional, termasuk di COP30.

Mereka datang membawa empat tuntutan sederhana tapi mendasar. Lindungi hak kolektif masyarakat adat, hentikan kriminalisasi, hormati prinsip FPIC, dan akui pengetahuan leluhur yang menjaga bumi.

Masyarakat adat tidak pernah menolak pembangunan. Tetapi mereka menolak pembangunan yang berdiri di atas darah, air mata, dan kehancuran hutan.

Jika dunia sungguh ingin keluar dari krisis iklim, maka masyarakat adat harus dilindungi terlebih dahulu. Tanpa mereka, bumi akan kehilangan benteng terakhirnya.

Penjaga Terakhir Bumi: Suara Masyarakat Adat di Tengah Krisis Iklim www.bocahudik.com 
Tagline yang dibawa AMAN ke COP30 berbunyi, "The Answer is Us." Sebuah kalimat sederhana yang lahir dari pengalaman panjang menjaga bumi.

Dunia bisa berdebat tentang angka emisi, pasar karbon, dan teknologi hijau. Tetapi semua itu tak ada artinya jika masyarakat adat terus diabaikan.

Masyarakat adat bukan hanya bagian dari solusi, mereka adalah fondasi kehidupan. Mereka adalah jiwa dari hutan, penjaga sungai, dan sahabat yang membuat bumi tetap bernapas.

Ketika suara mereka dibungkam, sesungguhnya dunia sedang menggali kuburnya sendiri. Karena jawabannya sudah jelas: untuk menyelamatkan bumi, kita harus melindungi mereka yang selama ini menyelamatkan kita.

Dan saat Rukka menutup pesannya, ada keheningan yang membekas. "Kalau kita mau selamat, lindungi para penjaga bumi, karena jawabannya ada pada kita semua."

No comments